Genap Berusia 93 Tahun, Mgr Antonius Pain Ratu Sebagai Uskup Tertua di Indonesia

- 3 Januari 2022, 22:19 WIB
Mgr Anton Pain Ratu SVD, Uskup Emeritus Atambua.
Mgr Anton Pain Ratu SVD, Uskup Emeritus Atambua. /Kosmos

VOX TIMOR - Mgr Anton Pain Ratu SVD, Pada 2 Januari 2022 kemarin, Uskup Emeritus Atambua ini genap berusia 93 tahun.

Namun, sebagai imam tak ada kata pensiun. Tiap Minggu, ia memimpin Misa bersama umat. Ia juga rajin menulis buku harian sejak tahun 1958.

Usianya sudah amat uzur. Pada 2 Januari kemarin, Uskup Emeritus Atambua ini berusia 93 tahun.

Baca Juga: Seperti Benenai Cintaku Terus Mengalir Untukmu, Sebuah Novel Gubahan R. Fahik

Mgr Pain Ratu, demikian panggilannya, sebagai uskup tertua di Indonesia. Meski raga telah renta, Mgr Pain Ratu tetap menjalankan karyanya sebagai seorang imam.

Melansir hidupkatolik.com. Hingga kini, Uskup Emeritus Atambua itu, masih memimpin Misa mingguan bersama umat. Baginya, tak ada kata pensiun untuk karya seorang imam.

Putra Asal Kampung Lamawolo

Lamawolo merupakan sebuah kampung kecil yang berada di kaki Gunung Boleng (Ile Boleng).

Pada kampung mungil yang terletak di sebelah selatan Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur itulah Mgr Pain Ratu dilahirkan. Ia merupakan putra sulung dari tujuh bersaudara.

Baca Juga: Mulai Berkantor di Tahun 2022, Bupati Malaka Pantau Jembatan Benenai

Sang ayah, Kosmas Kopong Liat adalah seorang petani dan tengkulak lewat perahu.

Kosmas juga sebagai kepala suku Ratumakin, kepala kampung, dan anggota kerkbestuur (majelis gereja atau dewan paroki).

Sementara ibunda, Maria Boli Beraya, merupakan anak kepala suku Atakela.

Ia juga berperan sebagai pemimpin kelompok kerja perempuan kampung, penjual tembakau dan dendeng ikan paus.

Baca Juga: Puan Maharani dan Ansy Lema Berbagi Kasih di Kota Kupang NTT

Kesamaan suami-istri tersebut adalah mendidik seluruh buah hati mereka hanya percaya kepada yang Satu (persaya tou hena) dengan memakai satu cara yakni Katolik.

Pembinaan iman di dalam keluarga turut mempengaruhi Pain Ratu dalam menentukan jalan hidup. Ia ingin menjadi imam sekaligus misionaris.

Karena itu, setelah lulus dari Seminari Menengah St Yohanes Berchmans Mataloko, Pain Ratu melanjutkan masa pembinaan calon iman di Seminari Agung Tinggi St Paulus Ledalero, Maumere, NTT.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Kesehatan 2 Januari 2022: Aries, Coba Ikuti Kelas Peregangan

Pada 15 Januari 1958, Frater Pain Ratu ditahbiskan oleh uskup pribumi pertama NTT atau kedua di Indonesia –setelah Mgr Albertus Soegijapranata SJ–, yakni Mgr Gabriel Wilhelmus Manek SVD.

Selain Pater Pain Ratu, ada tiga imam lain yang ditahbiskan bersamanya: Pater Clemens Cletus da Cunha SVD, Pater Lambert Pari Seran SVD, dan Romo Petrus Sepe.

Pater Pain Ratu memilih moto tahbisan dalam bahasa Latin, Ecce, Venio yang berarti: Sungguh, Aku datang (Ibr. 10:7). Moto tersebut terukir di atas patena, yang dihadiahkan oleh orangtua dan keluarganya. Sesanti itu senantiasa terlihat saban kali Pater Pain Ratu merayakan Misa.

Baca Juga: Maria Siswi SMA di Kabupaten Malaka, Diterkam Buaya

Moto itu juga selalu mengingatkan Pater Pain Ratu bahwa orangtua dan keluarganya selalu menyertai, mendukung, dan mendoakan perjalanan dan karya imamatnya.

Moto yang terpatri di atas patena miliknya pun kerap menyuntik semangat dan mendongkrak kesadaran Pater Pain Ratu. Ia dipanggil Allah untuk melayani umat-Nya.

Tugas Perdana Sebagai Imam Muda

Tugas perdana sebagai imam muda di Paroki St Mikael Nita, Keuskupan Agung Ende (Kini, Keuskupan Maumere). Setelah itu, tarekat mengutusnya ke Keuskupan Atambua.

Setelah itu, ia diutus ke Keuskupan Atambua dan menangani beberapa paroki di sana. Tarekat lantas mengirimnya studi antropologi budaya serta katekese pastoral di Universitas Ateneo de Manila.

Baca Juga: DPR di NTT Dinilai Tidak Miliki Rasa Peduli Soal Kasus Pembunuhan Astri dan Lael

Selang beberapa tahun kemudian, Pater Pain Ratu didapuk sebagai Provinsial SVD Timor.

Pada 2 April 1982, Takhta Suci menunjuk Pater Pain Ratu sebagai Uskup Auxilier Atambua.

Dua tahun kemudian, Mgr Pain Ratu menjadi gembala utama di keuskupan tersebut. Ia menggantikan Mgr Theodorus van den Tillaart SVD (1909-1991).

Mgr Pain Ratu amat giat mengembangkan kemandirian umat serta semakin mendekatkan pelayanan untuk mereka.

Baca Juga: Lantik 265 Pejabat Fungsional, Ini Pesan Bupati Belu

Karena itu, dalam setiap kunjungan pastoral, Mgr Pain Ratu selalu menggandeng katekis, pemandu, dan animator awam dalam tim pastoralnya.

Selain itu, upayanya untuk selalu dekat, mendengarkan, dan membantu umat agar menyadari persoalan serta menemukan solusi yang mereka hadapi, Mgr Pain Ratu menginisiasi khalwat “tiga ber-“ bagi umat yang berpendidikan, berkedudukan, dan berpengaruh.

Mereka yang termasuk dalam golongan “tiga ber-” antara lain: guru, pegawai negeri dan swasta, pengusaha, pemimpin atau pejabat pemerintah, tua-tua adat (ketua suku), kaum muda, dan kaum perempuan.

Baca Juga: Dini Hari Tadi, Sebanyak 3 Kali Gempa Menguncang Maluku Barat Daya

Mgr Pain Ratu senantiasa mengumpulkan mereka secara berkala. Bersama tim pastoral, uskup yang gemar mengenakan peci berkelir merah marun serta bersandal jepit itu membimbing tokoh “tiga ber- ” menjadi rasul awam yang tangguh, semakin sadar diri sebagai manusia beriman kristiani dan manusia Indonesia sejati, dan pemuka umat serta masyarakat yang terampil berpastoral di tengah sesamanya.

Gagasan “tiga ber-”, diakui Mgr Pain Ratu, lahir dari realita hidup masyarakat yang sedang dan terus terbelenggu oleh persoalan kemiskinan dan dualisme iman.

Dalam refleksi pastoral, ia menyadari, masalah kemiskinan timbul karena sistem feodal dalam masyarakat. Sementara dualisme iman masih kuat mencengkram karena iman kristiani belum berakar kuat. Tak pelak, tak sedikit umat yang masih mempercayai takhayul.

Baca Juga: Sejumlah ASN Lingkup Pemkab Malaka Dimutasi, Berikut Daftar Nama Pejabat

Mgr Antonius Pain Ratu juga selalu menunjukkan keterlibatannya di tengah persoalan kemanusiaan.

Hal ini amat terlihat ketika ia begitu lantang menyuarakan nasib pengungsi Timor-Timur (sekarang, Timor Leste) yang memasuki Timor Barat.

Mgr Pain Ratu menggerakkan umat untuk menghimpun bantuan untuk pengungsi. Sembari ia menuntut tanggung jawab pemerintah atas kehidupan yang layak bagi mereka yang tersingkir dari tanah asalnya.

Baca Juga: Bupati dan Wakil Bupati di NTT Ini Menjadi Sosok Inspirasi Bagi Pasangan Muda

Selain itu, tahun 2006, ia garang menghentikan aksi vandalisme fasilitas umum di Atambua oleh sejumlah oknum. Aksi itu terjadi terkait eksekusi mati bagi Fabianus Tibo dan kawan-kawan.

Perhatian Mgr Pain Ratu terhadap lingkungan hidup pun sangat tinggi. Ia menghimbau kepada umat dan masyarakat untuk terus menanam.

Menurutnya, dengan menanam, lingkungan lestari dan kesejahteraan akan datang. Sebaliknya, jika tak menanam, mustahil bakal terjadi kesejahteraan.

Baca Juga: Selamat Natal, Berikut Ramalan Zodiak 25 Desember 2021

Ia juga punya atensi mendalam kepada penderita lepra dan bibir sumbing. Tiap Natal dan Paskah kedua, Mgr Pain Ratu mengadakan perayaan persaudaraan bagi penyandang lepra.

Sedangkan untuk penyandang bibir sumbing, sang uskup gencar menjalin relasi dengan banyak mitra untuk mengatasi keterbatasan fisik tersebut.

Atas kepedualian itu, tahun 1986, Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial NTT bersama beberapa instasi memberikan piagam penghargaan kepada Mgr Pain Ratu.

Buku Harian Mgr. Pain Ratu

Pada usia senja seperti sekarang, saat raga dan kemampuan indera tak lagi seprima seperti dulu, tak banyak aktivitas yang dilakukan Mgr Pain Ratu Satu.

Namun, beberapa kegiatan masih terus ia jalankan. Selain merayakan Misa mingguan bersama umat, tiap sore ia berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Ia suka berjalan kaki.

Baca Juga: Terkait Tas Milik Korban Astri, Humas Polda NTT Sebut Itu Berita Tidak Benar alias Hoax

Mgr Pain Ratu juga rajin menulis buku hariannya hingga kini. Tradisi itu ia lakukan sejak tahun 1958. Semua “harta” pengalaman hidup sang uskup tersusun rapi di lemari.

Begitupula keberadaan kumpulan khotbah dan sambutannya dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Lamaholot (bahasa lokal Flores Timur), Inggris, Jerman, dan Belanda pun apik. Semua itu kelak menjadi warisan berharga bukan hanya untuk Gereja di Keuskupan Atambua tapi juga Indonesia.

Perjalanan sang uskup yang telah berusia 90 tahun memang tak selalu manis. Namun, saat kesulitan dan tantangan menghampirinya, Mgr Pain Ratu menyadari, semua itu tak sebanding dengan salib yang dipikul Yesus.

Baca Juga: Bupati Malaka Minta Kontraktor Segera Selesaikan Pekerjaan Rumah Jabatan

“Dialah (Yesus) pemanggul utama beban salib hidupku. Saya hanya turut menjinjingnya saja. Karena itu, di kala beban atau salib terlampau berat, maka saya berusaha meyakinkan diri dan berkata, ‘tetapi salib yang dipikul Yesus yang tak berdosa itu jauh lebih berat dari salib saya orang berdosa ini’,” ujarnya, yakin.***

Editor: Oktavianus Seldy Berek

Sumber: hidupkatolik


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah