PUKIS Beri Catatan Kritis Terkait Kenaikan Tarif Wisata Komodo di NTT

10 Agustus 2022, 14:35 WIB
Ilustrasi. Aksi mogok kerja pelaku pariwisata di Pulau Komodo menarik perhatian media asing. /Pixabay/Wildfaces/

VOX TIMOR - PUKIS mengapresiasi keputusan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menunda kenaikan tarif masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar hingga 1 Januari 2023.

Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS) merupakan lembaga studi yang fokus pada kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

“Kami mendukung penundaan kenaikan tarif sekaligus memberikan sejumlah catatan kritis bagi pemerintah pusat dan daerah.” ujar Direktur Eksekutif PUKIS M. M. Gibran Sesunan, dalam siaran pers di Yogyakarta, Selasa 9 Agustus 2022.

Baca Juga: Kematian Brigadir J Disebut Pembunuhan dan Pembohongan Berencana? Ferdy Sambo Terancam Hukuman Mati

Sebagaimana diketahui, Pemprov NTT yang didukung Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berencana menetapkan tarif baru di Taman Nasional Komodo, dari semula Rp75.000 bagi wisatawan nusantara (wisnus) dan Rp150.000 bagi wisatawan mancanegara (wisman) menjadi Rp3.750.000 per orang.

Pertama, PUKIS mengkritik minimnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan
kajian yang berujung pada keputusan kenaikan tarif di Taman Nasional Komodo.

“Pemerintah mengatakan ada kajiannya. Sekarang publik bertanya, ada di mana
kajian tersebut?,” ujar Gibran.

Untuk itu, PUKIS mendesak pemerintah untuk segera membuka kajian tersebut sehingga masyarakat bisa lebih memahami latar belakang kebijakan serta alasan-alasan di baliknya secara lebih komprehensif.

Baca Juga: Kebohongan Mulai Terungkap, Publik Kena Prank Oknum Polri

Selain itu, pemerintah harus mengkaji dampak kenaikan tarif bagi masyarakat dan pelaku usaha pariwisata. Terlebih, sejak tahun 2020, UNESCO telah mengingatkan pemerintah mengenai potensi terpengaruhnya mata pencaharian masyarakat lokal yang dapat memicu protes seiring dengan rencana reformasi pariwisata di Taman Nasional Komodo.

Dengan kata lain, peringatan dari UNESCO ini telah diabaikan oleh pemerintah.

Kedua, PUKIS meminta kenaikan tarif tidak hanya ditunda, tetapi juga dievaluasi kembali nilai kenaikannya.

“Kenaikan tarif dilakukan secara mendadak dengan besaran yang luar biasa,” kata Gibran.

Kenaikan tarif yang mencapai 25 kali lipat bagi wisman dan 50 kali lipat bagi wisnus ini berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ekslusivisme pariwisata.

Padahal, menurut BPS, rata-rata upah pekerja di Indonesia hanya sebesar Rp 2.892.537 per bulan.

Baca Juga: Tindak Lanjut Hasil Pertemuan Bersama Gubernur, Bupati Malaka Pimpin Rapat Bersama Para Camat dan Kades

“Jadi, pembangunan untuk siapa? Jangan sampai pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo justru meminggirkan masyarakat dan wisatawan lokal, padahal pembangunan infrastrukturnya banyak menggunakan uang rakyat (APBN),'" kata Gibran.

PUKIS mengingatkan, organisasi pariwisata dunia, UNWTO, menyatakan bahwa pariwisata yang berkelanjutan harus memberikan manfaat sosial-ekonomi yang adil kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama masyarakat lokal.

Ketiga, PUKIS mempertanyakan alasan kelestarian ekosistem yang selalu
digaungkan pemerintah.

PUKIS membantah klaim ini karena Presiden Jokowi sendiri telah menargetkan jumlah kunjungan 1,5 juta orang per tahun di DPSP Labuan Bajo.

Target ini lebih besar enam kali lipat dibandingkan jumlah kunjungan pada tahun 2019 yang sebesar 256.000 orang berdasarkan data Kemenparekraf.

Baca Juga: Egidius Atok Ajak Kader Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Tuntas untuk Menangkan Partai Demokrat 2024 Mendatang

Artinya, kebijakan ini justru dapat memperparah situasi lewah turis (overtourism) di Taman Nasional Komodo.

“Hal ini sangat kontradiktif dan kontraproduktif. Di satu sisi pemerintah ingin beralih dari pariwisata massal ke pariwisata yang berkualitas, namun di sisi lain justru menaikkan target kunjungan wisata secara besar-besaran,” pungkas Gibran. ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor: Oktavianus Seldy Berek

Tags

Terkini

Terpopuler